Langsung ke konten utama

Tiket terakhir


Aku termangu lama menikmati pemandangan di sekitarku, yakni pohon hijau rindang yang di penuhi buah dengan beraneka ragam warna, di bawahnya mengalir air yang jernih, dengan di penuhi ikan yang berenang di dalamnya. Suara aliran sungaipun mengalun indah berharmoni dengan suara cicitan burung dan serangga lainnya, sebenarnya hari itu sudah siang, tapi terasa seperti masih pagi dikarenakan sinar matahari hanya sedikit pendarannya yang mampu menerobos celah dedaunan. Kemudian aku meneruskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak yang disekitarnya tumbuh bunga bunga tulip, mawar, dan bunga kecil lainnya. Nun jauh di depan sana aku melihat air terjun bagaikan rambut sutra yang terjurai membelah di antara bebatuan dan hijau pepohonan. İtu adalah air terjun terindah yang belum pernah ku lihat sebelumnya.

Tapi tiba-tiba ada kabut tebal yang datang dan membuat suasana menjadi gelap. Aku sedikit terkejut. Tapi entah kenapa aku merasa penasaran seakan ada suara yang memanggilku untuk terus menuju ke air terjun tersebut.

Tiba-tiba tanganku dipegang seseorang. Entah siapa, tapi tampaknya aku sangat mengenalnya, wajahnya, suaranya. Tapi aku tak bisa mengingatnya siapa dia. Dia tampak sedang mengucapkan sesuatu tapi entah menggunakan bahasa apa tapi yang aneh aku memahaminya. Dia mengatakan padaku bahwa semua ini hanyalah tipuan semata, hanya fatamorgana. Dia menyuruhku untuk kembali pulang, keluar dari hutan belantara ini. Ada jurang yang dalam di depan sana dengan suasana sekitarnya yang gelap tertutupi oleh kabut aku akan celaka jika terus ke sana, katanya. İni adalah hutan Selong katanya yang terkenal dengan wingit dan keangkerannya. Banyak orang yang datang ke sini dan tak pernah pulang kembali. 

Aku bingung, entah siapa yang benar. Suara diriku yang ingin mencapai depan sana atau orang asing yang sangat ku kenal ini, tapi aku lupa siapa dia. Entah kenapa suara diriku terasa lebih dominan di banding keyakinanku kepada orang asing ini. Akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju air terjun tersebut. 

Ketika aku berjalan, pohon-pohon di sekitarku seolah mengikutiku. Ketika ku menengok ke belakang, tampak seekor ular besar ingin memangsaku. Aku langsung berlari terbirit-birit, dengan nafas terengah-engah aku memasuki kabut gelap. Mataku tak bisa melihat jalan di depanku. Tiba-tiba aku merasa terjatuh. Seakan aku terjatuh dari gedung tinggi. Aku bingung dan jantungku berdegup kencang. Aku rasanya akan mati.

Aku bangun, ternyata ini mimpi. Aku beranjak menuju cermin di kamarku. Aku melihat orang asing yang ada di dalam mimpiku. Itu aku. Ya, diriku sendiri. Tiba-tiba bulu romaku berdiri, aku merasa ngeri. Aku melihat bayangan di dalam cermin menyeringai dan tangannya bergerak keluar dari cermin dan menyeretku masuk ke dalamnya. Aku di bawa ke masa dimana aku melihat diriku masih kecil. Aku melihat diriku yang masih kecil sedang dimarahi oleh ibuku, tapi ibuku sedikit menangis, aku tidak tahu mengapa. Kemudian aku melihat ayahku sedang kehujanan berjualan gorengan di pinggir jalan. Aku juga melihat adik-adikku sedang menangis meminta makan kepada ibuku. Tiba-tiba datang gempa bumi yang menenggelamkan semuanya termasuk diriku.

Aku terbangun, aku sedikit menangis. Ini mimpi apa, batinku. Mimpiku berlapis-lapis. Saat itu ku perhatikan jam dinding baru menunjukkan pukul 03.15 pagi. Aku teringat misiku hari ini, untuk menembak mati Bos pemilik tambang emas Maju Terus. Setelah itu ada klienku lainnya yang meminta membunuh suaminya. Ya. Aku adalah pembunuh bayaran. Aku adalah seorang sniper. 

Bersambung......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Mantan, BiIQis

Yth. Kepada Mantan BiIQis Di manapun berada.                 Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.                      Sapardi Djoko Damono Sehubungan dengan datangnya surat ini, aku ingin memberikan kabar bahwa aku di sini sedang tidak terlalu baik tapi tidak juga buruk. Udara musim dingin belum begitu bersahabat denganku sehingga kadang membuatku merasa kurang nyaman. Ya, walaupun begitu, aku tidak bisa menafikan keindahan hujan saljunya yang memberikan hiburan tersendiri bagiku, karena menurutku hujan salju itu seperti hujan gula ...

Vaksin R081442

Tak ada kata terlambat untuk memulai :)  Malam ini, 8 Ramadhan 1442 atau 20 April 2021 pukul 00.00 aku memulai sesuatu yang lama aku lupakan;  yakni  menulis.  Terakhir kali aku menulis, saat aku masih di Turki,  ketika sedang berkutat dengan hafalan-hafalan kitab klasik nahwu dan sharaf dalam rangka menempuh pendidikan informal yang diselesaikan selama 2 tahun lebih 8 bulan. Saat itu aku menulis mengenai hal-hal yang menjadi keresahan dalam benakku yang aku beri judul "Sampah". Kenapa sampah?  Karena keresahan tersebut ku pikir tidak ada gunanya ketika ditulis. Tapi ku berharap di masa yang akan datang, aku bisa mengambil beberapa pelajaran ataupun bisa memutar kenangan yang mungkin bisa memberikan  trigger  untuk melakukan perbuatan positif yang produktif.  Malam ini aku membaca koran republika yg tanggalnya aku sendiri lupa 😅. Dalam koran tersebut ada beberapa tajuk yang menarik yakni mengenai tokoh Fariduddin Attar seorang penyair kelahi...