Langsung ke konten utama

Jomblo? Menikah? Yang penting bahagia

Lagi iseng baca berita, eh nemu topik yang menarik buat saya tulis. Intinya sih tentang jomblo di Indonesia itu lebih bahagia dari pada status yang lain. Kamu gak yakin? 

Menurut data BPS, indeks kebahagiaan penduduk yang belum menikah cenderung lebih tinggi (71,53) dibandingkan dengan penduduk dengan status perkawinan yang lain.

Sementara untuk penduduk dengan status menikah memiliki indeks kebahagian 71,09, penduduk dengan status cerai hidup memiliki indeks kebahagian 67,83 dan penduduk dengan status cerai mati memiliki indeks kebahagiaan 68,37.

Ya, beda-beda tipis sih, tapi kan yang penting  lebih tinggi indeks penduduk yang belum menikah dari pada penduduk yang sudah menikah. Jadi "hidup para jomblo!!". Jadi jangan pandang sebelah mata kami. Kami hidup bebas tanpa kekangan dari pasangan yeah. 


Tapi tunggu, kemungkinan yang dimaksud belum menikah disini tidak hanya jomblo tetapi juga termasuk yang sudah punya pasangan tanpa status menikah. Oh tidaakk!!, jadi yang dimaksud bukan jomblo saja. Heeeuuh. Padahal saya sudah merasa GR dengan adanya kata belum menikah . Jadi persentase jomblo bahagia berkurang. Jadi apakah salah ketika jomblo ingin diakui bahagia??. Huhuhuhu :( 

Tapi disini yang jelas jika kamu masih jomblo, kamu masih punya banyak waktu untuk mengembangkan diri, menghemat, dan melakukan hobi sepuasnya. Sebelum tiba masanya untuk saling memegang tanggung jawab dan sama-sama berjuang membangun bahtera rumah tangga. So, reach all your dream now.

Tapi terkadang, di media sosial, jika melihat postingan teman sedang liburan bersama suami/istratau sedang resepsi rasanya tuh bikin iri hati. Belum lagi ketika si doi yang disukamengirim pesan pribadi, itu serasa memberi harapan dan membuat hati lupa diri. Innalillahi.
Jadi apakah kita masih kuat untuk menjomblo?? ^_^

Kemudian jika anda sudah punya pasangan, saya harap sih, cepet nabung bareng untuk segera menikah. Daripada nanti saya menikung (mengakuisisi/ merebut/ memiliki pasangan) anda. :-D

Nah, kalo yang sudah menikah, apakah betul jika indeks bahagianya akan menurun?  Melihat kembali antara indeks kebahagiaan yang telah menikah sedikit lebih kecil dibanding yang belum menikah. Itu bisa saja disebabkan dengan adanya berbagai tanggungjawab baru, waktu dan pikiran yang harus tercurah untuk kepentingan bersama, dan lainnya.

Seorang psikolog dari Surabaya yang bernama Yanto berpendapat "Orang bisa tetap bahagia bila menikah sebagai orang yang sudah dewasa secara mental. Karena keputusan didasarkan pada perlu atau tidak perlu bukan lagi menggunakan rumus enak atau tidak enak. Pasangan yang kemudian menjadi tidak bahagia setelah menikah adalah mereka yang sulit menjadi dewasa dan masih mencari kesenangan sendiri".

Menurut pengamatan saya sendiri, ketika melihat kawan seperjuangan, kebanyakan dari mereka tetap bisa bahagia bahkan mendapatkan kebahagiaan lebih dari berbagai prestasi setelah menikah, misalnya ada yang setelah menikah masih bisa menyelesaikan program S1 nya, melanjutkan studi S2 di luar negeri bersama suaminya, atau ada juga yang diangkat sebagai manajer di perusahaan tempat bekerja dan lain sebagainya. 

Singkatnya, jika kita bisa bersikap dewasa, kebahagiaan itu akan selalu ada, bahkan bertambah nilainya. Disamping itu, semakin bertambahnya tanggung jawab maka bentuk dari bahagia itu akan berbeda dari sebelumnya. Misalnya dulu ketika waktu kecil, kita dibelikan ayah hadiah seperti sepeda atau baju baru kita akan senang luar biasa. Kemudian ketika kita sudah bekerja lalu mempunyai adik, kemudian kita rela menyisihkan uang kita digunakan untuk membeli mainan/baju kesukaan adik kita. Padahal uang yang digunakan untuk membeli didapat dari jerih payah kita. Pada kasus ini uang kita berkurang tetapi  di sisi lain kita tetap bisa merasakan kebahagiaan yang muncul dari melihat wajah lugu adik kita yang sumringah (senang). Belum lagi jika kita  telah menjadi seorang suami atau istri ketika bisa membahagiakan pasangan dan buah hati kita. Maka rasa bahagia itu akan mewabah kepada seluruh penghuni rumah.

Mungkin hal ini masih searah dengan teori klasik Abraham Maslow mengenai kebutuhan dimana puncak tertinggi adalah aktualisasi diri untuk semakin bermanfaat bagi orang lain. Jadi semakin banyak kita memberikan waktu, pikiran, harta kita untuk orang-orang yang kita cintai maka kita akan merasakan kepuasan tersendiri bahkan mendapatkan kebahagiaan yang haqiqi.

Dan hakikat kebahagiaan itu sendiri adalah sakin, tenang, damai, pikiran dan hati kita tidak grusa-grusu. Sakinah (ketenangan/tentram) akan bisa diraih dengan Mawadah (cinta) dalam sesuatu ketertarikan yang tampak atau bersifat material seperti kecantikan, ketampanan kerajinan, kepintaran. Namun segala hal yang bersifat materi tidak bersifat permanen oleh karena itu, dengan berjalannya waktu hal tersebut akan menyusut atau hilang, maka Warahmah (kasih sayang) akan melengkapi sifat kefanaan mawadah.
Ketertarikan yang halus bersifat mengayomi, ikhlas, saling pengertian akan menjaga hubungan pernikahan sampai akhir hayat. (Mengutip dari pernyataan Ust. Adi Hidayat Lc.)

Oh iya, mengingatkan kembali bagi yang sudah memiliki pasangan tetapi belum menikah, cepatlah menikah. Kasihan kalau kelamaan digantungin mulu. Saya juga sempat membaca Jurnal Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai "Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran".

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan kelompok yang menikah tanpa berpacaran lebih tinggi daripada kelompok yang menikah dengan berpacaran sebelumnya. Namun penelitian ini masih memiliki kelemahan pada kurang setaranya subjek penelitian dalam pemahaman agama (Religiusitas). Subjek yang tidak berpacaran adalah aktivis dakwah di lingkungannya dan yang berpacaran adalah dari kalangan muslim awam dalam masyarakat.

Terlepas dari berpacaran ataupun tidak pacaran, proses mengenal adalah yang terpenting. Dan akan lebih baik jika pernikahan direncanakan secara matang dalam segi lahir batin dari jauh-jauh hari.

Mungkin cukup sekian bincang-bincangnya, saatnya untuk pamit. (Sambil dengerin  lagu Pamitnya, TULUS).
Akhir kata: 
(bagi yang mau/sedang/sudah menikah)
Selamat Menikah ya ^_^ 








Sumber:

Iis Ardhianita dan Budi Andayani. 2005. Kepuasan Pernikahan   Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Yogyakarta: Jurnal Psikologi Volume 32, No. 2, 101-111


https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/83084-survei-menunjukkan-orang-tidak-bertambah-bahagia-setelah-menikah





https://m.katadata.co.id/berita/2017/08/15/bps-indeks-kebahagiaan-indonesia-naik-orang-lajang-paling-bahagia

Youtube
Ust. Adi Hidayat Lc.








Komentar

  1. Kalo saya pribadi alhamdulillah ngerasain apa yg disebut "Menikahkah maka pintu pintu rezeki akan terbuka." Apalagi ketika sdh jadi ibu, masya Allah.. amazing banget, rezeki dr Allah lewat anak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhmdulillah ya kak, brharap bisa seperti itu. Tapi kak, minimal harus pny kerjaan tetap kan ya😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Mantan, BiIQis

Yth. Kepada Mantan BiIQis Di manapun berada.                 Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.                      Sapardi Djoko Damono Sehubungan dengan datangnya surat ini, aku ingin memberikan kabar bahwa aku di sini sedang tidak terlalu baik tapi tidak juga buruk. Udara musim dingin belum begitu bersahabat denganku sehingga kadang membuatku merasa kurang nyaman. Ya, walaupun begitu, aku tidak bisa menafikan keindahan hujan saljunya yang memberikan hiburan tersendiri bagiku, karena menurutku hujan salju itu seperti hujan gula ...

Vaksin R081442

Tak ada kata terlambat untuk memulai :)  Malam ini, 8 Ramadhan 1442 atau 20 April 2021 pukul 00.00 aku memulai sesuatu yang lama aku lupakan;  yakni  menulis.  Terakhir kali aku menulis, saat aku masih di Turki,  ketika sedang berkutat dengan hafalan-hafalan kitab klasik nahwu dan sharaf dalam rangka menempuh pendidikan informal yang diselesaikan selama 2 tahun lebih 8 bulan. Saat itu aku menulis mengenai hal-hal yang menjadi keresahan dalam benakku yang aku beri judul "Sampah". Kenapa sampah?  Karena keresahan tersebut ku pikir tidak ada gunanya ketika ditulis. Tapi ku berharap di masa yang akan datang, aku bisa mengambil beberapa pelajaran ataupun bisa memutar kenangan yang mungkin bisa memberikan  trigger  untuk melakukan perbuatan positif yang produktif.  Malam ini aku membaca koran republika yg tanggalnya aku sendiri lupa 😅. Dalam koran tersebut ada beberapa tajuk yang menarik yakni mengenai tokoh Fariduddin Attar seorang penyair kelahi...