Langsung ke konten utama

Dasar Kepala Batu

Kau tahu mengapa laron dan ngengat selalu ingin menuju cahaya,
walaupun banyak dari mereka yang kehilangan sepasang sayapnya,
Bahkan nyawa taruhannya,
Namun pernahkah kau lihat mereka kehilangan senyumnya,
Senyum yang membuat getir hati manusia,
Karena rindunya dengan cahaya cinta,


Malam itu, aku masih berkutat dengan buku yang baru saja ku pinjam siang tadi di kampus. Buku milik Regina, teman sekelasku, seorang aktivis yang kritis, tapi tak jarang berprestasi dalam hal akademis. Dengan jilbab anggunnya yang membuat wajahnya kelihatan lebih manis, seseorang yang menurutku mendekati kata sempurna untuk ukuran seorang mahasiswi semester enam. 


Kembali ke masalah buku Regina, aku masih sedikit berkonsentrasi memikirkan arti dari petikan bait puisi yang ku temukan di akhir halaman buku milik Regina.


Jika kau bertanya, kenapa aku bisa terlalu keppo. Aku juga tidak tahu, mungkin karena aku sedikit peduli padanya. Jika kau tanyakan lagi motif apa yang ku punya sehingga peduli padanya, aku juga tidak tahu. Mungkin karena dia menganggapku sebagai sahabatnya. Jadi aku sedikit peduli padanya.


Puisi tersebut ditulis dengan tinta merah. Persis di bawahnya, sedikit menjorok ke sebelah kanan, tertulis tanggal 28 Juni 2015. Yang berarti bahwa puisi ini telah ditulis tiga hari yang lalu. Aku kembali mengingat-ingat sosok Regina yang akhir-akhir ini tampak sedikit berkurang keramahannya, bukan hanya kepada ku, tapi juga kepadamu, bahkan ke semua teman-teman kelasnya. ini tidak seperti biasanya. 


Kemudian aku mulai mengaitkannya dengan putusnya Regina dengan Tomy, ketua BEM Fakultas kami yang beritanya mulai menyebar seminggu terakhir ini. Kau juga sependapat denganku.


Aku yang dianggap sebagai salah satu sahabatnya yang telah berteman sejak di bangku SMA paham betul perasaan Regina kepada Tomy selama ini. Dia tipe wanita keras kepala yang selalu bersikukuh dengan pendiriannya, untuk masalah kali ini, dia terlalu mencintai Tomy, padahal kemarin sebelum meminjam buku ini, sudah ku berikan saran untuk segera melupakannya dan fokus kepada aktivitas seperti biasa.


Tetapi sebagaimana disebutkan kalau dia adalah kepala batu jika berurusan dengan sesuatu yang sudah diyakininya. Yaitu perasaan cinta dan sayangnya kepada Tomy, padahal Tomy berbeda keyakinannya dengan Regina.


Aku juga bilang padamu, untuk memberikan saran kepada Regina, kau kan juga sahabat terbaiknya. Agar Regina segera membuka lembaran kehidupan barunya. Lusi, bahkan bila perlu, kau ajaklah dia jalan-jalan ke tempat baru yang menantang. Bukankah kalian berdua suka dengan hal-hal yang menantang?


Kehidupan itu selalu berjalan dinamis, semuanya pasti akan berubah, begitu juga hati Regina harus bisa membuka hati untuk yang lain, menerima segala yang baru. Coba kau beri saran kepada dia seperti itu, intinya kau harus ajak dia untuk move on.


Kau tahu kan, jika aku terlalu keras memberi saran seperti itu, rasanya kok kurang elegan ya. tunggu-tunggu, jangan pikir aku masih suka pada dia, aku memang pernah ditolak beberapa kali oleh dia, oleh karena itu aku sudah buang jauh-jauh perasaan itu. Loh, mengapa kau senyum curiga dan menatapku seperti itu? Kau tidak yakin dengan perkataanku?


Sial, batinku memang mengingkari perkataanku yang barusan, dimana aku telah membuang jauh-jauh perasaanku pada Regina. Makanya aku suka pinjam buku kepada Regina, suka dan ingin tahu semua hal tentang Regina. Dan aku tak akan menyerah untuk selalu berjuang mendapatkan cintanya.

Komentar

  1. Dua kata buat tokoh karakter "aku".

    Cie... cie...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tngkyu bang,, ni kan diambil dari pengalaman situ..haha bcnda... kapan nikah bang?πŸ˜‚

      Hapus
    2. Se pas nya. Kalo udah jodoh ga ke mana πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†

      Hapus
    3. Δ°ya stujuh bang.. "jng nodai silaturahim, dg prtanyaan kpn nikah, jaga perasaan teman kita" ngliat kutipan ini barusan di line bikin w mrasa brsalahπŸ˜…

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vaksin R081442

Tak ada kata terlambat untuk memulai :)  Malam ini, 8 Ramadhan 1442 atau 20 April 2021 pukul 00.00 aku memulai sesuatu yang lama aku lupakan;  yakni  menulis.  Terakhir kali aku menulis, saat aku masih di Turki,  ketika sedang berkutat dengan hafalan-hafalan kitab klasik nahwu dan sharaf dalam rangka menempuh pendidikan informal yang diselesaikan selama 2 tahun lebih 8 bulan. Saat itu aku menulis mengenai hal-hal yang menjadi keresahan dalam benakku yang aku beri judul "Sampah". Kenapa sampah?  Karena keresahan tersebut ku pikir tidak ada gunanya ketika ditulis. Tapi ku berharap di masa yang akan datang, aku bisa mengambil beberapa pelajaran ataupun bisa memutar kenangan yang mungkin bisa memberikan  trigger  untuk melakukan perbuatan positif yang produktif.  Malam ini aku membaca koran republika yg tanggalnya aku sendiri lupa πŸ˜…. Dalam koran tersebut ada beberapa tajuk yang menarik yakni mengenai tokoh Fariduddin Attar seorang penyair kelahiran kota Nisaphur /Naisabur, Iran.

1

Hai kamu.. Gimana kabarnya sehat kah? Sehat memang salah satu nikmat yang kadang manfaatnya baru kita rasakan jikalau kita sakit, jadi yuk jangan lupa bersyukur atas kesehatan kita sampai hari ini. Di indonesia masih musim hujan ya? Eh maksudnya yang bagian pulau jawa. Enak dong bisa menikmati gurihnya makan mendoan dengan ditemani harumnya aroma secangkir kopi hangat, pasti kerasa banget kan kenikmatan suasana hujan itu. Apalagi kalau ditambah dengan berkumpul bersama sahabat, keluarga atau orang tercinta pasti momen hujan akan membuat semuanya menjadi lebih hangat. Apakah kamu masih suka pergi ke sekolah untuk bertemu dengan anak-anak kecil yang selalu membuat mu melupakan setiap keletihanmu, walaupun kamu masih menjadi guru honorer dengan gaji yang pas-pasan, lalu masihkah kamu mendiskusikan para petani dan nelayan yang hidupnya tak kunjung sejahtera padahal lahan dan lautan masih luas, atau masih seeingkah kau mengobrol dengan kawanmu tentang permasalahan SARA yang tidak ada hab