Langsung ke konten utama

Diantara orang tidur

Ah, malam ini aku akan memulai lagi, menulis kata demi kata untuk menuangkan isi dari wadah ini. Walaupun keadaan di sekitarku masih sepi.

Pukul 1.33 pagi aku masih menyendiri di antara puluhan mahasiswa di sebuah asrama pondok pesantren. Dikatakan asrama karena ini adalah tempat penginapan bagi sekelompok mahasiswa yang paginya kuliah di kampus, lalu jika dikatakan pondok pesantren ya, karena di sini kami diajari tentang Al-qur'an dan kitab-kitab salaf. Ini adalah waktunya untuk tidur, tapi kenapa aku masih menuliskan kata-kata yang tak tahu ada manfaat atau tidaknya dalam kalimat ini. Namun aku hanya menuruti keinginan hati. Tapi aku tak berani jamin kalau saat ini hati yang menuntun, karena hari ini kita kadang menyamakan hati dan ego kita.

Ruang tidur disini ada 18 tempat tidur tingkat dua, jadi ada 2 kasur atas dan bawah. jika terisi semua berarti ada 36 orang. Ini sudah cukup untuk membuat sebuah tim paduan suara dengkuran yang bisa diberangkatkan olimpiade bulan ini. Tapi walaupun terdengar ramai tetap saja hanya aku yang terbangun, jadi aku merasa sepi.

Mungkin itu juga yang dirasakan ketika orang-orang di zaman ini mulai cuek dengan keadaan sekitar, sibuk dengan yang bersifat maya, rela menghabiskan waktu saat berkumpul bersama teman dengan masing-masing bermain smartphone. Masing-masing asyik dengan dunianya sendiri, seperti orang tidur. Orang tidur akan asyik dengan khayalan mimpinya walaupun di dekatnya ada orang yang minta tolong pasti akan dibiarkan, bahkan jika terjadi kebakaran ataupun bencana alam, orang tersebut tidak akan melakukan apapun untuk menyelamatkan dirinya. Kecuali orang yang tidur itu terbangun atau dibangunkan, maka lain lagi ceritanya. Dengan merebaknya sikap acuh tak acuh, kita tidak bisa menyalahkan teknologi yang berkembang pesat saat ini, jika kita belum bisa membangunkan orang lain paling tidak, kita tidak ikut larut dalam kenikmatan yang maya ini. Yakni dengan menggunakan kemajuan teknologi ini dengan bijak untuk kepentingan bersama.

Kembali ku melihat keadaan diri di antara orang-orang tidur ini. Aku berpikir betapa lemahnya manusia yang penuh lalai ini, yang sama sekali tanpa waspada dengan kemungkinan berbagai bahaya yang akan datang. Maka dari itu memang hanya yang tidak tidur yang bisa dikatakan kuat. Siapa lagi jika bukan Tuhan.

Tanpa sadar, perenungan kali ini dibuyarkan oleh salah satu pengurus asrama pondok pesantren yang sedang keliling mencari mahasiswa yang seharusnya jaga malam kali ini. Dan beliau menemukan diriku yang masih terjaga diantara teman-temanku yang tidur. Walhasil aku disuruhlah untuk mencari mahasiswa yang jaga malam pada jam itu. Untung tidak disuruh jaga malam sekalian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Mantan, BiIQis

Yth. Kepada Mantan BiIQis Di manapun berada.                 Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu, Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.                      Sapardi Djoko Damono Sehubungan dengan datangnya surat ini, aku ingin memberikan kabar bahwa aku di sini sedang tidak terlalu baik tapi tidak juga buruk. Udara musim dingin belum begitu bersahabat denganku sehingga kadang membuatku merasa kurang nyaman. Ya, walaupun begitu, aku tidak bisa menafikan keindahan hujan saljunya yang memberikan hiburan tersendiri bagiku, karena menurutku hujan salju itu seperti hujan gula ...

Dasar Kepala Batu

Kau tahu mengapa laron dan ngengat selalu ingin menuju cahaya, walaupun banyak dari mereka yang kehilangan sepasang sayapnya, Bahkan nyawa taruhannya, Namun pernahkah kau lihat mereka kehilangan senyumnya, Senyum yang membuat getir hati manusia, Karena rindunya dengan cahaya cinta,